“Lu spesial.” Fandi berucap
padaku. Entah seperti apa rasanya bahkan aku tak bisa menggambarkannya. Rasanya
mungkin seperti ada berjuta kembang yang tiba-tiba tumbuh di sekelilingku.
Fandi, dia memang bukan siapa-siapaku. Tapi, dia memiliki pesona yang saat ini
telah mengikatku. Dia tidak cukup tampan seperti orang terkenal kebanyakan di
sekolahku. Jadi apa yang membuat dia begitu mempesona? Menurutku, dia cukup
percaya diri untuk melakukan banyak hal. Hobinya adalah bermain gitar dan itu
cukup menjadikan dia terkenal di sini. Ditambah lagi, dia mengikuti banyak
kegiatan di sekolah. Berbeda denganku 180 derajat. Aku yang kesehariannya
memang anti-sosial tidak terlalu tertarik dengan Fandi. Itu pada awalnya, dan
kejadian itu bermula di sini.
“Hey, Fi. Oh,haruskah gue
panggil Nafila?” tanya seorang lelaki padaku. Aku yang masih berkutat pada buku
novelku berusaha memalingkan wajah kearah lelaki yang mengajakku bicara itu.
Namun enggan sekali rasanya setelah aku mampu mengenali suara berat lelaki itu.
Tapi kupaksakan diri dan berkata, “Terserah kamu panggil apa. Ada apa, Di?”
”Gini, Naf.” sambungnya, “Lu tau kan kalo gue itu gebet temen deket lu.”
“Ya,terus hubungannya sama gue apa? Nothing,right?” jawabku menahan kesal.
“Oke, to the point aja. Ngomong-ngomong lu punya waktu luang gak? Gue mau pergi
ke toko buku, tapi gue gak paham jalan.” “Terus? Wait, jangan bilang lu mau
ngajak gue? Oh, gue ngerti. Lu ngajak gue biar gue ngajak Kaira? Lu modus,kan?
Lu sebenernya tau kalo toko buku itu deket sama rumah Kaira. But,oke gue paham
maksud ajakan lu.” jawabku panjang lebar. “So? Lu setuju?” tanyanya ragu. Aku
mengangguk.
Siang itu aku menunggu Fandi,
maksudku aku dan Kaira. Hari ini sekolah pulang lebih awal memang. Kulihat jam
dinding menunjukkan pukul satu siang. “Eh, maaf. Kalian tunggu bentar. Jam dua
nanti acaranya juga udah selesai.” ucap Fandi di depan pintu kelas satu jam
yang lalu. Aku mengambil nafas panjang dan menghembuskannya perlahan. Huft,
kenapa aku harus mengiyakan, batinku. Dua jam kami menunggu Fandi selesai
dengan urusan organisasinya -yang menurutku gak penting banget,itu karena aku
tidak tahu seberapa penting urusan itu- dan akhirnya buah bibir itu datang. “Eh,
Kaira. Maaf udah buat kamu nunggu.” Fandi tersipu malu dibalas dengan anggukan
Kaira. Aku yang melihat kelakuan Fandi jadi salah tingkah sendiri. Sudah jelas
permintaan maaf itu ditujukan untuk Kaira, lalu kenapa jadi aku yang malu-malu
mendengarnya? Sudahlah.
Pukul dua siang itu juga kami
pergi. Setelah berkeliling sebentar, membeli beberapa buku, dan keluar dari
toko. Fandi yang melihat penjual minuman, tanpa pikir panjang, langsung
mendekat dan membeli sebotol teh kemasan. “Kaira, kamu mau?” Fandi menawari
Kaira minuman dengan sedikit senyum anehnya itu. “Masak cuma lu yang dikasih
minum? Gue,kan juga haus,Key.” bisikku pada Kaira. Kaira hanya tersenyum padaku
dan juga menjawab pertanyaan Fandi, “Gak usah,Fan. Aku gak haus” Yah, gagal
rencana gue dapetin minuman gratis,batinku. Fandi menurut. Beberapa saat
kemudian, kami benar-benar keluar dari toko. Kami pulang ke rumah
masing-masing. Fandi sudah pulang terlebih dahulu. Aku dan Kaira pulang naik
angkot. Sore itu awan benar-benar menangis hebat. Kami basah kuyup. Kaira turun
tak lama setelah naik angkot. Rumahnya tidak terlalu jauh dari toko buku. Dan
aku harus terus menunggu lebih lama di angkot dan oper naik bis kota.
Perjalanan yang cukup jauh itu
ternyata membuat mamaku khawatir. Entah hari itu mamaku kesambet apa, tiba-tiba
mama mengirim sms ke Fandi. Kira-kira bunyinya seperti ini, ‘Neng, Nafila pergi
kemana,ya? Kok, jam segini belum pulang.’ Aku yang sudah pulang dan membaca
pesan itu, kaget setengah mati. Neng? “Naf, lu kok panggil gue ‘Neng’,sih?
Emang nama gue di kontak lu itu apa?” tanya Fandi. “Maaf, Di. Itu bukan gue
yang kirim, itu mama gue.” jawabku. “Ya masalahnya bukan di situ, Naf. Gue mau
tau nama kontak gue di HP lu.” Aku hanya terdiam dan menggeleng. “Ah, terserah
lu, deh. Gue gak peduli.” sambungnya.
Setelah hari itu, aku jadi
sedikit merasa bersalah. Sedikit? Ya, tentu saja. Memangnya siapa lagi yang
membuat jam jadi molor kalau bukan Fandi yang menjadi penyebabnya. Fandi acara
ini,lah. Fandi acara itu,lah. “Naf? Gue minta maaf soal yang kemaren.” celetuk
Fandi dari balik bangkunya. “Eh? Maaf? Maaf buat? Gue gak masalah.” “Naf? Gue
juga mau ngucapin makasih. Ini, gue beli gantungan kunci kesukaan lu. Mungkin
ini lebih jelek daripada yang lu idamkan, tapi setidaknya gue bisa beri lu
sesuatu untuk ngungkapin rasa terima kasih gue.” sambungnya. “Gantungan kunci?
Terima kasih? Apa-apaan sih lu? Ya, karena lu maksa jadi gue terima.” jawabku
sedikit malu. Aku tetap berusaha menguasai diriku sendiri agar tak terlihat
canggung di hadapan Fandi. Meskipun mungkin tak sedikitpun dalam benaknya
terbesit diriku, tapi setidaknya aku harus tetap jaim,kan?
Hari berlalu begitu cepat.
Kehidupanku yang awalnya biasa saja menjadi sedikit berubah. Aku jadi lebih
sering membujuk Kaira agar suka dengan Fandi. Aku sudah berjanji pada diriku
sendiri untuk membantu Fandi, meski dengan sedikit kesal dan tidak terima
dengan semua itu. Namun hati siapa yang tahu, ternyata Kaira memang tidak
pernah bisa menyukai Fandi. Sampai suatu saat, Fandi berdiri di depan gerbang
rumahku. “Naf? Lu mau makan bareng gue?” ajaknya. “Lu ngomong apaan,sih? Di, lu
kenapa? Muka lu lesu banget, galau? Gara-gara ditolak sama Key?” tanyaku. Fandi
terdiam. “Okey, tunggu bentar gue mau siap-siap dulu. Lu tunggu sini bentar.”
Kami berdua pergi. Fandi tidak
mengajakku makan seperti yang dia janjikan, tapi dia mengajakku ke sebuah
pantai. “Pantai? Kenapa lu ngajak gue ke pantai?” tanyaku sedikit marah dan
curiga. Fandi tak menjawab.”Di, jangan bilang lu mau bunuh diri di sini.
Bisa-bisa gue yang ditangkap.” Fandi tetap tak menjawab. Dia diam seribu
bahasa. Beberapa menit kemudian, dia mulai buka suara. “Naf, maafin gue. Gue
gak bisa berpikir jernih setelah ditolak Kaira. Lu bener gue emang galau. Tapi
galau itu bukan karena gue ditolak Kaira.” ucapnya. Sekarang giliran aku yang
terdiam. Aku mencoba untuk mendengarkan suaranya di antara suara deburan ombak
yang membentur karang, di antara suara angin yang silih berganti menerbangkan
pasir putih pantai itu. “Terus? Lu galau kenapa?” tanyaku. “Gue… eh, lu pernah
suka seseorang?” tanyanya balik. Aku mengangguk. “Gimana rasanya lu suka dua
orang dalam satu waktu?” lanjutnya. Aku sejenak berpikir “Ya bingung. Tapi mau
gimana lagi. Gue bakal pilih satu orang yang bener-bener suka sama gue. Kalo gue
pilih orang yang gak suka gue. Ya gue bakal lebih tersiksa.” Fandi terdiam.
Debur ombak masih mengiringi
pembicaraan kita, begitu juga angin yang silih berganti menerbangkan pasir
putih pantai itu. Matahari mulai bosan dengan pembicaraan yang entah akan
kemana ini dan perlahan lenyap. “Naf, gue galau bukan karena Kaira.” ujar Fandi
terbata-bata. “Ya terus karena apa?” tanyaku. “Lu bilang kalo lu suka sama dua
orang sekaligus, lu bakal milih satu orang yang bener-bener suka sama lu,kan?
Itu yang sekarang gue alamin dan buat gue jadi galau gini.” “Di, lu ngomong
apa,sih? Entar lagi malem, gue harus pulang.” selaku. “Naf, plis dengerin gue.
Gue butuh lo.” Aku tercengang menanggapi perkataan Fandi. Dia butuh
gue,batinku. “Ih, Fandi, lu ngomong apa? Gue gak denger!” teriakku.“Gue suka!”
teriak Fandi balik. “Di? Gak usah teriak gue juga udah denger.” “Tapi tadi lu
bilang kagak denger.” “Oke, lu mau teriak apa terserah lu. Gue kasihan liat lu
galau gini.” Fandi berdiri dari duduknya, mencoba menarik nafas sekuat-kuatnya
dan berteriak ke lautan, “Gue suka Nafila!”
Aku yang sedari tadi tertawa
melihat tingkah konyol Fandi seketika diam. Fandi mendekatiku dan berkata, “Gue
suka Kaira juga Nafila, tapi Kaira nolak gue. Gue sebenernya udah lama suka
sama lu. Gue gak tau harus gimana lagi. So, gue ngajak lu ke pantai ini. Gue
cuma mau bilang itu tadi. Gue juga kagak tau gimana perasaan lu ke gue. Jadi,”
“Di, gue juga.” selaku. Hening. Hanya suara deburan ombak dan angin yang silih
berganti menerbangkan pasir putih pantai itu. “Gue juga suka sama Fandi.”
jawabku.
***
“Lu spesial.” Fandi berucap
padaku. Entah seperti apa rasanya bahkan aku tak bisa menggambarkannya. Rasanya
mungkin seperti ada berjuta kembang yang tiba-tiba tumbuh di sekelilingku.
Fandi, dia memang bukan siapa-siapaku. Tapi, dia sudah memberiku banyak hal
indah selama SMA. Kami tetap berteman hingga kini. Setelah lulus dari SMA, aku
melanjutkan kuliahku di Jerman. Fandi juga kuliah, tapi dia juga merintis
bisnis online yang bisa dibilang hasilnya lumayan. Lumayan gede. Selain itu,
dia juga menjadi musisi, penulis, dan designer untuk kaos buatan yang dijual di
toko online-nya. Dia juga sudah membuka beberapa distro di seluruh Indonesia.
“Gue spesial? Emang gue martabak telor?” gurauku. “Iya maaf. Eh, lu berapa
tahun lagi, sih, kuliahnya?” tanya Fandi. “Dua tahun lagi. Emang kenapa?” “Gue
butuh lo.” “Butuh buat apa?” tanyaku. Hening. “Sorry, Di. Entar lagi pesawat
gue berangkat. Gue harus buru-buru, nih.” selaku. “Tapi, Naf. Gue…” teriak
Fandi. Aku segera menjauh meniggalkan Fandi sendiri. Aku berlari secepat
mungkin dan tiba-tiba air mataku mengalir. Dari kejauhan kulihat sebuah cahaya
terang menghampiriku dan seketika itu pandanganku menjadi kabur. Hitam. Namun
hanya suara orang yang lalu lalang di depan kafé yang kudengar. Mereka
berteriak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar