Senin, 07 Juli 2014

Elegi

“Lu spesial.” Fandi berucap padaku. Entah seperti apa rasanya bahkan aku tak bisa menggambarkannya. Rasanya mungkin seperti ada berjuta kembang yang tiba-tiba tumbuh di sekelilingku. Fandi, dia memang bukan siapa-siapaku. Tapi, dia memiliki pesona yang saat ini telah mengikatku. Dia tidak cukup tampan seperti orang terkenal kebanyakan di sekolahku. Jadi apa yang membuat dia begitu mempesona? Menurutku, dia cukup percaya diri untuk melakukan banyak hal. Hobinya adalah bermain gitar dan itu cukup menjadikan dia terkenal di sini. Ditambah lagi, dia mengikuti banyak kegiatan di sekolah. Berbeda denganku 180 derajat. Aku yang kesehariannya memang anti-sosial tidak terlalu tertarik dengan Fandi. Itu pada awalnya, dan kejadian itu bermula di sini.

“Hey, Fi. Oh,haruskah gue panggil Nafila?” tanya seorang lelaki padaku. Aku yang masih berkutat pada buku novelku berusaha memalingkan wajah kearah lelaki yang mengajakku bicara itu. Namun enggan sekali rasanya setelah aku mampu mengenali suara berat lelaki itu. Tapi kupaksakan diri dan berkata, “Terserah kamu panggil apa. Ada apa, Di?” ”Gini, Naf.” sambungnya, “Lu tau kan kalo gue itu gebet temen deket lu.” “Ya,terus hubungannya sama gue apa? Nothing,right?” jawabku menahan kesal. “Oke, to the point aja. Ngomong-ngomong lu punya waktu luang gak? Gue mau pergi ke toko buku, tapi gue gak paham jalan.” “Terus? Wait, jangan bilang lu mau ngajak gue? Oh, gue ngerti. Lu ngajak gue biar gue ngajak Kaira? Lu modus,kan? Lu sebenernya tau kalo toko buku itu deket sama rumah Kaira. But,oke gue paham maksud ajakan lu.” jawabku panjang lebar. “So? Lu setuju?” tanyanya ragu. Aku mengangguk.

Siang itu aku menunggu Fandi, maksudku aku dan Kaira. Hari ini sekolah pulang lebih awal memang. Kulihat jam dinding menunjukkan pukul satu siang. “Eh, maaf. Kalian tunggu bentar. Jam dua nanti acaranya juga udah selesai.” ucap Fandi di depan pintu kelas satu jam yang lalu. Aku mengambil nafas panjang dan menghembuskannya perlahan. Huft, kenapa aku harus mengiyakan, batinku. Dua jam kami menunggu Fandi selesai dengan urusan organisasinya -yang menurutku gak penting banget,itu karena aku tidak tahu seberapa penting urusan itu- dan akhirnya buah bibir itu datang. “Eh, Kaira. Maaf udah buat kamu nunggu.” Fandi tersipu malu dibalas dengan anggukan Kaira. Aku yang melihat kelakuan Fandi jadi salah tingkah sendiri. Sudah jelas permintaan maaf itu ditujukan untuk Kaira, lalu kenapa jadi aku yang malu-malu mendengarnya? Sudahlah.

Pukul dua siang itu juga kami pergi. Setelah berkeliling sebentar, membeli beberapa buku, dan keluar dari toko. Fandi yang melihat penjual minuman, tanpa pikir panjang, langsung mendekat dan membeli sebotol teh kemasan. “Kaira, kamu mau?” Fandi menawari Kaira minuman dengan sedikit senyum anehnya itu. “Masak cuma lu yang dikasih minum? Gue,kan juga haus,Key.” bisikku pada Kaira. Kaira hanya tersenyum padaku dan juga menjawab pertanyaan Fandi, “Gak usah,Fan. Aku gak haus” Yah, gagal rencana gue dapetin minuman gratis,batinku. Fandi menurut. Beberapa saat kemudian, kami benar-benar keluar dari toko. Kami pulang ke rumah masing-masing. Fandi sudah pulang terlebih dahulu. Aku dan Kaira pulang naik angkot. Sore itu awan benar-benar menangis hebat. Kami basah kuyup. Kaira turun tak lama setelah naik angkot. Rumahnya tidak terlalu jauh dari toko buku. Dan aku harus terus menunggu lebih lama di angkot dan oper naik bis kota.

Perjalanan yang cukup jauh itu ternyata membuat mamaku khawatir. Entah hari itu mamaku kesambet apa, tiba-tiba mama mengirim sms ke Fandi. Kira-kira bunyinya seperti ini, ‘Neng, Nafila pergi kemana,ya? Kok, jam segini belum pulang.’ Aku yang sudah pulang dan membaca pesan itu, kaget setengah mati. Neng? “Naf, lu kok panggil gue ‘Neng’,sih? Emang nama gue di kontak lu itu apa?” tanya Fandi. “Maaf, Di. Itu bukan gue yang kirim, itu mama gue.” jawabku. “Ya masalahnya bukan di situ, Naf. Gue mau tau nama kontak gue di HP lu.” Aku hanya terdiam dan menggeleng. “Ah, terserah lu, deh. Gue gak peduli.” sambungnya.

Setelah hari itu, aku jadi sedikit merasa bersalah. Sedikit? Ya, tentu saja. Memangnya siapa lagi yang membuat jam jadi molor kalau bukan Fandi yang menjadi penyebabnya. Fandi acara ini,lah. Fandi acara itu,lah. “Naf? Gue minta maaf soal yang kemaren.” celetuk Fandi dari balik bangkunya. “Eh? Maaf? Maaf buat? Gue gak masalah.” “Naf? Gue juga mau ngucapin makasih. Ini, gue beli gantungan kunci kesukaan lu. Mungkin ini lebih jelek daripada yang lu idamkan, tapi setidaknya gue bisa beri lu sesuatu untuk ngungkapin rasa terima kasih gue.” sambungnya. “Gantungan kunci? Terima kasih? Apa-apaan sih lu? Ya, karena lu maksa jadi gue terima.” jawabku sedikit malu. Aku tetap berusaha menguasai diriku sendiri agar tak terlihat canggung di hadapan Fandi. Meskipun mungkin tak sedikitpun dalam benaknya terbesit diriku, tapi setidaknya aku harus tetap jaim,kan?

Hari berlalu begitu cepat. Kehidupanku yang awalnya biasa saja menjadi sedikit berubah. Aku jadi lebih sering membujuk Kaira agar suka dengan Fandi. Aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk membantu Fandi, meski dengan sedikit kesal dan tidak terima dengan semua itu. Namun hati siapa yang tahu, ternyata Kaira memang tidak pernah bisa menyukai Fandi. Sampai suatu saat, Fandi berdiri di depan gerbang rumahku. “Naf? Lu mau makan bareng gue?” ajaknya. “Lu ngomong apaan,sih? Di, lu kenapa? Muka lu lesu banget, galau? Gara-gara ditolak sama Key?” tanyaku. Fandi terdiam. “Okey, tunggu bentar gue mau siap-siap dulu. Lu tunggu sini bentar.”

Kami berdua pergi. Fandi tidak mengajakku makan seperti yang dia janjikan, tapi dia mengajakku ke sebuah pantai. “Pantai? Kenapa lu ngajak gue ke pantai?” tanyaku sedikit marah dan curiga. Fandi tak menjawab.”Di, jangan bilang lu mau bunuh diri di sini. Bisa-bisa gue yang ditangkap.” Fandi tetap tak menjawab. Dia diam seribu bahasa. Beberapa menit kemudian, dia mulai buka suara. “Naf, maafin gue. Gue gak bisa berpikir jernih setelah ditolak Kaira. Lu bener gue emang galau. Tapi galau itu bukan karena gue ditolak Kaira.” ucapnya. Sekarang giliran aku yang terdiam. Aku mencoba untuk mendengarkan suaranya di antara suara deburan ombak yang membentur karang, di antara suara angin yang silih berganti menerbangkan pasir putih pantai itu. “Terus? Lu galau kenapa?” tanyaku. “Gue… eh, lu pernah suka seseorang?” tanyanya balik. Aku mengangguk. “Gimana rasanya lu suka dua orang dalam satu waktu?” lanjutnya. Aku sejenak berpikir “Ya bingung. Tapi mau gimana lagi. Gue bakal pilih satu orang yang bener-bener suka sama gue. Kalo gue pilih orang yang gak suka gue. Ya gue bakal lebih tersiksa.” Fandi terdiam.

Debur ombak masih mengiringi pembicaraan kita, begitu juga angin yang silih berganti menerbangkan pasir putih pantai itu. Matahari mulai bosan dengan pembicaraan yang entah akan kemana ini dan perlahan lenyap. “Naf, gue galau bukan karena Kaira.” ujar Fandi terbata-bata. “Ya terus karena apa?” tanyaku. “Lu bilang kalo lu suka sama dua orang sekaligus, lu bakal milih satu orang yang bener-bener suka sama lu,kan? Itu yang sekarang gue alamin dan buat gue jadi galau gini.” “Di, lu ngomong apa,sih? Entar lagi malem, gue harus pulang.” selaku. “Naf, plis dengerin gue. Gue butuh lo.” Aku tercengang menanggapi perkataan Fandi. Dia butuh gue,batinku. “Ih, Fandi, lu ngomong apa? Gue gak denger!” teriakku.“Gue suka!” teriak Fandi balik. “Di? Gak usah teriak gue juga udah denger.” “Tapi tadi lu bilang kagak denger.” “Oke, lu mau teriak apa terserah lu. Gue kasihan liat lu galau gini.” Fandi berdiri dari duduknya, mencoba menarik nafas sekuat-kuatnya dan berteriak ke lautan, “Gue suka Nafila!”

Aku yang sedari tadi tertawa melihat tingkah konyol Fandi seketika diam. Fandi mendekatiku dan berkata, “Gue suka Kaira juga Nafila, tapi Kaira nolak gue. Gue sebenernya udah lama suka sama lu. Gue gak tau harus gimana lagi. So, gue ngajak lu ke pantai ini. Gue cuma mau bilang itu tadi. Gue juga kagak tau gimana perasaan lu ke gue. Jadi,” “Di, gue juga.” selaku. Hening. Hanya suara deburan ombak dan angin yang silih berganti menerbangkan pasir putih pantai itu. “Gue juga suka sama Fandi.” jawabku.

***


“Lu spesial.” Fandi berucap padaku. Entah seperti apa rasanya bahkan aku tak bisa menggambarkannya. Rasanya mungkin seperti ada berjuta kembang yang tiba-tiba tumbuh di sekelilingku. Fandi, dia memang bukan siapa-siapaku. Tapi, dia sudah memberiku banyak hal indah selama SMA. Kami tetap berteman hingga kini. Setelah lulus dari SMA, aku melanjutkan kuliahku di Jerman. Fandi juga kuliah, tapi dia juga merintis bisnis online yang bisa dibilang hasilnya lumayan. Lumayan gede. Selain itu, dia juga menjadi musisi, penulis, dan designer untuk kaos buatan yang dijual di toko online-nya. Dia juga sudah membuka beberapa distro di seluruh Indonesia. “Gue spesial? Emang gue martabak telor?” gurauku. “Iya maaf. Eh, lu berapa tahun lagi, sih, kuliahnya?” tanya Fandi. “Dua tahun lagi. Emang kenapa?” “Gue butuh lo.” “Butuh buat apa?” tanyaku. Hening. “Sorry, Di. Entar lagi pesawat gue berangkat. Gue harus buru-buru, nih.” selaku. “Tapi, Naf. Gue…” teriak Fandi. Aku segera menjauh meniggalkan Fandi sendiri. Aku berlari secepat mungkin dan tiba-tiba air mataku mengalir. Dari kejauhan kulihat sebuah cahaya terang menghampiriku dan seketika itu pandanganku menjadi kabur. Hitam. Namun hanya suara orang yang lalu lalang di depan kafĂ© yang kudengar. Mereka berteriak. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar