Jumat, 01 Agustus 2014

Rindu

Secepat mungkin Afe menyeka air matanya. Dia tidak ingin ada satupun makhluk yang melihat sisi lemahnya. Seumur-umur, dia tidak pernah menangis, paling tidak dalam kurun waktu lima tahun ini. Apalagi menangisi seorang lelaki. Dia mengaggap hal itu adalah hal bodoh. Teman-temannya sering bercerita jika mereka menangisi kepergian seorang lelaki yang mereka suka, padahal belum tentu lelaki  yang mereka suka juga menyukai mereka, menurut Afe itu adalah sesuatu yang bodoh. Namun tidak untuk hari ini. Afe bukan lagi seorang perempuan yang kuat seperti dulu. Bahkan untuk menatap seseorang yang selalu duduk di bangku pojok belakang di kelasnya.


Pagi ini, Afe bermimpi tentang hal yang aneh. Dia melihat Fian berdiri di dekat dermaga sore ini, itu mimpinya. Percaya atau tidak, akhir-akhir ini, Afe sering mendapati mimpi-mimpinya menjadi nyata. Terkadang Afe sendiri takut jikalau mimpi-mimpi buruknya benar-benar menjadi nyata. Fian sendiri adalah seorang yang selalu didamba Afe. Fian senang sekali duduk di bangku pojok di kelas. Mereka sekelas. Entah sejak kapan Afe menyukai Fian.

Sore ini dia benar-benar berniat untuk pergi ke dermaga. Sekedar memastikan apakah mimpi itu nyata atau tidak. Jam setengah lima dia sampai di dermaga dan benar saja dia melihat Fian. Fian benar-benar nyata, sosok yang selalu ia impikan. Afe menghampiri Fian dan mencoba menyapanya, “Hai. Benarkah kau Fian?” tanya Afe. Lelaki itu mengiyakan dan ia bertanya, “Bagaimana kau tau jika aku di sini?” Afe benar-benar tak percaya, secepat mungkin Afe menyeka air matanya.

Aku yang sedari tadi melihat tingkah konyol Afe juga seakan tak percaya. Bagaimana bisa dia menangis sendiri di dermaga sore ini? Dia juga bertingkah seperti menyapa seseorang. Ah, mungkin dia hanya bermimpi dan berkhayal. Namun, semakin lama kuperhatikan dia malah semakin menjadi-jadi. Dia berteriak histeris sambil menyebut sebuah nama, Fian. Tapi, bukankah Fian, dia sudah, mati?!

***


Ah, sudahlah, itu tidak mungkin. Lagipula siapa Fian? Namaku bukan Fian, tapi Fandi. Fian hanyalah teman khayalanku. Berbicara dengan Afe pun aku tak pernah. Memang siapa Afe? Ah, mungkin aku mengigau. Tapi Afe itu mirip seperti Nafila. Tapi Nafila… Ah, aku terlalu rindu dengannya setelah dia pergi dari tempat ini. Mungkin sore ini dia ada di dermaga.

2 komentar:

  1. hehe iya dek itu comlicated. soalnya itu hanya muntahan isi otakku saja. jadi ya agak sulit dimengerti :D

    BalasHapus